24 Des 07 17:05 WIB
Oleh Sabrul Jamil
“Ah, itu kan cuma dosa kecil, Mas!”
Ungkapan seperti ini sering terdengar. Entah di lingkungan sekitar rumah, di warung-warung, atau di kalangan pekerja kantoran. Apa yang mereka sebut dosa kecil? Menurut pengalaman saya, gurauan atau candaan yang menyerempet porno sering dianggap hal kecil, dan bumbu dalam pergaulan. Selain itu, yang juga cukup sering dianggap enteng adalah gosip, entah ghibah ataupun namimah.
Sebenarnya, apakah ukuran suatu dosa itu dianggap kecil atau besar? Saya mendiskusikan hal itu dengan jamaah Masjid di dekat rumah.
Salah seorang jamaah menjawab dengan membacakan hadist berikut: “Dari Abu Hurairah RA, Rasulullah SAW bersabda, Shalat lima waktu, dari (shalat) Jumat ke (shalat) Jumat yang lain dan dari (puasa) Ramadhan ke (puasa) Ramadhan yang lain adalah penghapus dosa-dosa kecil di antara waktu-waktu tersebut selama tidak melakukan dosa besar” (HR Muslim no. 233).
Ada pula firmanNya, yang berarti, "(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil" (QS: An Najm: 32).
“Jadi, intinya, ” lanjut salah satu jamaah tadi, “Allah dan RasulNya sendiri yang sudah melakukan pembagian dosa besar dan dosa kecil ini. ”
“Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan dosa besar adalah setiap dosa yang diancam dengan siksa khusus seperti berzina, mencuri, durhaka kepada kedua orangtua, menipu, bersikap jahat kepada kaum muslimin dan lainnya”
“Lalu, bagaimana dengan dosa kecil?” Tanya saya.
Jamaah yang lain menjawab, “Dosa jenis ini terjadi karena sulit bagi kita untuk menghindarinya. Terkadang kita melakukannya pun tanpa sadar. Misalnya, ketika harus berdesak-desakkan di bus atau Kereta, dan tanpa sengaja harus bersentuhan dengan lawan jenis. Kata kunci di sini adalah tanpa sengaja. ”
“Bagaimana kalau sengaja?” Tanya jamaah lainnya, “Apakah masih bisa dianggap dosa kecil?”
Ada yang menjawab, “Para ulama, tentu berdasarkan dalil-dalil, sepakat bahwa besar kecilnya dosa pada dasarnya ditentukan bukan semata-mata dari jenis pekerjaannya. Di sini berlaku ungkapan, bahwa tidak ada dosa kecil selama si pelaku mengangagap remeh dosa tersebut.
“Misalnya seorang laki-laki memandang wanita dan ini adalah zina mata, namun zina mata lebih kecil dari zina kemaluan. Tapi dengan melakukannya terus-menerus maka dia akan menjadi besar. Sebab tidak ada dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus, sebagaimana dikatakan seorang salaf: 'Tidak ada yang namanya dosa kecil kalau dilakukan terus-menerus dan tidak ada dosa besar apabila diiringi dengan taubat."
“Dosa kecil pun dapat menjadi besar jika si pelaku justru merasa bangga dengan kelakuannya tersebut. Perasaan bangga gembira dan senang terhadap dosa, menjadikan dosa tersebut menjadi besar. Ketika rasa senang kepada dosa kecil sudah mendominasi diri seseorang, maka menjadi besarlah dosa kecil tersebut, dan besar pula pengaruhnya untuk menghitamkan hatinya. Sampai-sampai ada yang merasa bangga karena bisa melakukan sebuah dosa, padahal kegembiran pada sebuah dosa lebih besar dari dosa itu sendiri. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. Dan Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui. (QS. 24:19)
“Misalnya seperi orang yang berkata: Tidakkah kamu tahu bagaiman aku membuntuti fulan dan berhasil melihatnya atau ucapan-ucapan dan perbuatan lainnya yang menunjukkan sikap bangga dan senang atas perbuatan dosa. Maka semua itu menjadikan dosa yang semula kecil menjadi besar.
“Sikap santainya dalam melakukan dosa, tidak adanya rasa takut kepada Allah SWT dan pengawasan-Nya. Perasaan aman dari siksa Allah SWT adalah gambaran dari menyepelekan tabir Allah SWT. Dia tidak sadar bahwa perbuatannya itu mendatangkan murka Allah SWT. Ibnu Abbas r. A. Berkata: Wahai orang yang berdosa, jangan merasa aman dari akibat buruknya. Tatkala suatu dosa diikuti oleh sesuatu yang lebih besar dari dosa, jika kamu melakukan dosa, tanpa merasa malu terhadap pengawas yang ada di kanan kirimu, maka kamu berdosa, dan menyepelekan dosa itu lebih besar dari dosa itu sendiri, …, kegembiraanmu dengan dosa ketika kamu sudah melakukannya, itu lebih besar dari dosa itu sendiri, kesedihanmu atas suatu dosa ketika ia lepas darimu (tidak dapat melaksanakannya), maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri. Kekhawatiranmu terhadap angin ketika ia menggerakkan daun pintumu pada saat kamu sedang melakukan dosa serta hatimu tidak pernah risau dengan pengawasan Allah SWT kepadamu, maka itu lebih besar dari dosa itu sendiri."
Saya dan jamaah lainnya mengangguk-angguk. Penjelasan tersebut sudah cukup panjang. Namun ternyata masih ada kelanjutannya.
“Contoh lainnya adalah seseorang yang melakukan dosa dengan terang-terangan di depan umum atau dengan menceritakannya kepada orang lain padahal jika ia tidak menceritakannya orang lain tidak ada yang tahu, kecuali dia dengan Rabbnya. Dengan sikap ini berarti ia telah mengundang hasrat orang lain untuk melakukan dosa tersebut dan secara tidak langsung ia telah mengajak orang lain untuk ikut melakukannya. Dalam hal ini ia telah melakukan dua hal sekaligus yaitu dosa itu sendiri ditambah mujaharahnya, sehingga dosanya pun menjadi besar.
Rasulullah SAW bersabda, "Setiap umatku dapat diampuni dosa-dosanya kecuali orang yang mengekspos dosa-nya. Contoh dari mengekspos dosa adalah seorang yang melakukan dosa di malam hari, kemudian pada pagi harinya, padahal Allah SWT telah menutupi dosanya, ia mengatakan: Wahai fulan, tadi malam saya telah melakukan demikian dan demikian. Di malam hari Allah SWT telah menutupi perbuatan dosanya, namun di pagi harinya justru ia sendiri yang menyiarkannya." (HR: Bukhari 5721, Baihaqi 17373, Dailami 4795)
Semua akhirnya terdiam. Mereka sibuk menghitung jejak dosa masing-masing. Jejak dosa yang menyebabkan mereka terhijab dari Allah.
Allah, yang sesungguhnya dekat, jadi terasa jauh, karena terhijab oleh kesalahan dan kelalaian kita sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar